
Aku berusaha membuka tulisan ini dengan apa yang disebut kalimat pertanyaan berpola negasi-afirmasi. Artinya, pemahaman-pemahaman yang sebelumnya diberangus dulu, lalu dimunculkan sebuah pemahaman baru yang memang itulah yang dibutuhkan.
Pertanyaan tersebut bila dipositifkan setidaknya akan menjadi ‘Tidak ada yang bisa dititipi masa depan bangsa kecuali generasi pemuda’. Kupahami bahwa pemuda adalah satu-satunya generasi yang punya harapan. Pemuda merupakan lapisan sosial yang memang diperuntukkan mengelola bangsanya di masa depan.
Maka, pemahaman bahwa ada lapisan atau kelompok lain, sebagai yang bisa dititipi masa depan, harus dinegasikan, artinya harus di hilangkan dahulu, bahkan sama sekali. Maka kemudian penegasian ini di-counter dengan sebuah afirmasi dengan penegasan adanya keharusan tampilnya pemuda sebagai generasi yang bisa dititipi masa depan bangsa.
Maka munculah paradigma bahwa memang yang benar-benar akan menentukan mau seperti apa bangsa ini adalah pemuda. Pemuda adalah yang bisa menawarkan bangsa ini mimpi-mimpi untuk menjadi bangsa yang besar. Inilah perbedaan pemuda dengan generasi yang lain. Kalau kaum tua menawarkan pengalaman-pengalamannya di masa lalu, maka pemuda menawarkan masa depan.
Paradigma Pemuda Tuntas
Hal ini, tentu, kemudian berkonsekuensi pada keharusan pembekalan generasi muda dengan sungguh-sungguh. Pemuda sudah saatnya memahami paradigma bahwa ‘Ini bangsa kami, maka baik buruknya, kami bertanggung jawab’. Sebagai pemuda, adalah penting untuk memiliki rasa kebanggaan terhadap bangsanya. 'This is Indonesia that we are really proud of!' Pemuda sudah harus paham bahwa dedikasi mereka dibutuhkan oleh masyarakat.
Bila menilik sejarah sumpah pemuda, maka akan kita jumpai pemuda-pemuda perumusnya yang sudah tidak membicarakan urusan pribadinya. Mereka adalah, meminjam istilah Anies Baswedan, manusia-manusia yang tuntas dengan dirinya. Tidak ada dalam pikiran mereka uruasan-urusan yang bersifat pribadi dan kesukuan. Tidak ada kepentingan-kepentingan sektoral yang mereka bawa saat itu. Mereka telah tuntas dengan urusan dirinya.
Pribadi-pribadi pemuda yang tuntas inilah yang nanti akan menjadi figur panutan bagi generasi selanjutnya. Sebagai contoh figur yang telah sukses menjadi panutan adalah plokamator negeri ini, Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka berdua tak pernah membicarakan kepentingan-kepentingan pribadinya dalam upaya perjuangan mereka. Yang mereka sampaikan hanya bagaimana negara ini bisa merdeka dan berdaulat, dan tak lagi mengiba atau dipaksa mengiba ke sana-sini. Rasa bangga tokoh-tokoh tersebut hanya pada kemerdekaan. Bukan kepopuleran atau nama baik yang menjadikan mereka bangga, tetapi hanya satu kata yang mereka cari yakni ‘Merdeka!’. Bangsa ini harus merdeka.
Sebuah Kisah
Suatu ketika Bung Karno menerima kedatangan BJ Habibie remaja dan beberapa temannya yang akan berangkat ke Jerman untuk melanjutkan sekolah. Saat itu, Bung Karno hanya berpesan bahwa negeri ini perlu dijaga persatuannya. Maka dari itu, teknologi di bidang penerbangan dan maritim harus diutamakan. Yang terjadi adalah semua pemuda yang ketika itu menghadap Bung Karno tersebut hanya mengambil jurusan yang berhubungan dengan teknologi di bidang penerbangan dan maritim.
Sementara, suatu ketika Bung Hatta meresmikan jembatan Asahan di Sumatera. Adalah seorang bernama Imaduddin, yang saat itu masih berusia belia, sangat berkeinginan untuk melihat wajah dan pidato seorang Hatta secara langsung. Ia dan teman-temannya rela berjalan beberapa hari hanya untuk hal tersebut. Ketika hari peresmian tiba, Bung Hatta berpesan bahwa Indonesia ke depan akan membutuhkan banyak insinyur listrik. Akhirnya, karena mendengar pidato tersebut, hampir semua anak yang saat itu meanyaksikan Bung Hatta berpidato, menjadi insinyur listrik, termasuk si Imaduddin yang sekarang telah menjadi seorang profesor.
Inilah bukti bahwa negeri ini butuh pemuda yang tuntas dengan dirinya dan menjadi figur bagi generasi sesudahnya. Apa yang disampaikan orang-orang seperti ini adalah demi sebuah kebaikan kolektif, bukan pribadi.
Negeri tidak butuh orang-orang yang penuh retorik tetapi bermuka dua. Negeri ini butuh sebuah pengabdian pemuda yang penuh rasa kebanggaan terhadap bangsanya, tanpa embel-embel urusan pribadi. Bangsa ini hanya butuh pengabdian pemuda yang murni dari dalam jiwa yang penuh rasa cinta terhadap negeri.
Jazz Muhammad
Jakarta, 29 Januari 2009
nikmati juga tulisan ini di kompasianaku