(KOMPAS/PRIYOMBODO) |
Baiklah, sekarang aku ingin bicara yang lain. Biarpun telat, report harus dilanjutkan. Oke?!
Bulan spesial
Minggu-minggu awal Agustus tentu menjadi sedikit spesial daripada bulan-bulan yang ain. Ini bulan kemerdekaan. Bulan dimana negeri ini merengkuh kejayaannya di muka bumi ini. Di bulan ini, 65 tahun yang lalu, atmosfer masyarakat berubah dari ketergantungan, mendadak menjadi sebuah kemandirian untuk terus berbenah. Tujuh belas Agustus 1945 lalu benar-benar menjadi pintu gerbang kemerdekaan hakiki negeri ini, yang sayangnya belum tercapai.
Di bulan ini juga dimulai awal bulan puasa, bulan Ramadhan. Bagiku, yang muslim ini, bulan ini akan menjadi bulan paling spesial sepanjang tahun. Di bulan ini, ibadah akan dihargai lebih oleh Tuhan. Maka orang akan ramai bersembahyang di masjid-masjid, di surau-surau dan di rumah-rumah. Gempita Ramadhan benar-benar menjadi momen pembersihan bagi manusia yang memang dasanya bersalah dan berlupa.
Soal kampus
Di awal-awal bulan ini kegiatan Duta Paramadina lebih difokuskan pada kegiatan seleksi mahasiswa baru. Kampusku, Universitas Paramadina kini mengalami masa-masa regenerasi, seperti halnya kampus lain. Kami menerima mahasiswa baru melalui seleksi tulis dan wawancara.
Yang unik dari seleksi ini, wali yang mengantar putra-putri calon mahasiswa kemudian dikumpulkan di taman kampus, “Taman Peradaban” namanya. Kami berbincang banyak soal harapan, soal suasana kampus, pengajaran kuliah, hingga alasan mengapa ujian harus disertai wawancara.
Aku dan Duta Paramadina lainnya disilakan untuk menyampaikan realitas kampus kami kepada mereka, para wali. Tentu kami harus netral. Kami sampaikan bahwakelemahan kampus ini adalah kampus ini kecil, kampus ini mahasiswanya sedikit, kampus ini masih baru, kampus ini tentu tak sebanding dengan kampus-kampus tua lainnya, dan kampus ini swasta. Pernyataan terakhir, bahwa kampus ini swasta, dalam konteks Indonesia memang harus terpaksa dimasukkan dalam kategori "kelemahan" karena paradigma negeri-centered terlalu kuat menimbun-nimbun objektivitas berpikir orang-orang negeri ini.
Tetapi aku dan teman-teman tetap sampaikan bahwa kami berada di kampus yang tepat. Kami memiliki mimpi dan kami yakin kampus ini bisa mengantarkan kami ke sana. Meski kecil, kampus ini memberikan kami network yang luas kepada mahasiswa. Tenaga pengajar yang muda-muda akan menjamin transfer ilmu menjadi seimbang. Ruang kelas menjadi ajang diskusi. Dosen bukan sumber ilmu satu-satunya. Mahasiswa pun punya hak bicara, hak setuju, dan hak bantah. Bukankah memang seharusnya kuliah itu demikian?
Salah seorang wali sempat bertanya, bagaiamana jika ada mahasiswa yang nonmuslim masuk Paramadina. Pak Wija, Deputi Rektor III yang selalu mendampingi kami menjelaskan bahwa kampus ini membawa nilai-nilai agama sebagai dasar penyelenggaraan perkuliahan, bukan simbol-simbol keagamaan. Kami percaya bahwa nilai-nilai Islam itu universal dan bisa direguk oleh siapapun. Karena, pada dasarnya nilai Islam ini akan menyatu pada keserasian dunia yang sejalan dengan nilai-nilai dasar universal agama-agama lain: kesantunan, keramahan, disiplin, semangat berkebaikan, semangat sosial dan tentunya semangat berketuhanan.
Oya, mungkin di kampus kami yang unik adalah adanya matakuliah aneh. Mata kuliah antikorupsi namanya. Katanya, ini yang pertama kali di dunia. Dimana-mana, matakuliah ini tergabung dengan matakuliah etika.
Matakuliah bikin boke’
Matakuliah ini mengajarkan kami bermacam-macam serba-serbi korupsi, dari dalam negeri maupun luar negeri. Ada yang namanya petty corruption, yakni korupsi kecil. Juga ada grand corruption, korupsi yang besar. Kami dikenalkan dengan beberapa konsep mengenai antikorupsi beserta badan-badan pemerintah maupun yang nonpemerintah yang terlibat dalam pemberantasan korupsi. Mulai dari KPK, YLBHI, Tiri, TII, sampai ICW.
Aku baru tahu kalau dampak korupsi begitu massif: lesunya perekonomian, meningkatnya kemiskinan, tingginya kriminalitas, demoralisasi, kehancuran birokrasi, terganggunya sistim politik dan pemerintah, dan buyarnya masa depan demokrasi, serta runtuhnya penegakan hukum.
Di akhir kuliah, kami disilakan untuk melakukan investigasi kecil-kecilan. Kami dikelompokkan dan setiap kelompok harus melakukan sejumlah penelitian soal korupsi yang “di sekitar kita”. Kami mengambil korupsi yang berjenis kecil atau yang tadi kami sebut petty corruption, tadi. Korupsi ini memang benar-benar kecil dan sering terlewat. Keterlewatan ini bukan hanya karena tidak tahu, tapi juga karena terlalu sering dilakukan. Ora krasa jalaran kulina!
Yang termasuk tindakan yang baru aku tahu dan sering terlewat seperti pemalsuan bukti bayar kuliah. Jadi di suatu tempat, jasa pemalsuan ini laris manis oleh mahasiswa-mahasiswa yang mau “neken” orang tuanya. Parah! Kalau yang kategori sering kelewatan itu seperi kasus tilang. Ya, tilang yang sering dilakukan sama polisi. Kebanyakan kita ‘kan maunya cepet, bayar, abis itu beres.
Yang unik, temen-temen yang investigasi bener-bener merelakan diri di-tilang. Sekali tilang seratus ribu dibayarkan, uang pun terbang “melayang”. Lalu ketika presentasi, mereka ditanya seorang dosen, “’Kan ini investigasi, hasilnya ‘kan harus valid, nah, berapa kali kalian lakukan ini?”
“Lah, ya sekali aja lah, Bu! Bisa boke’ kalau terus-terusan…”