Sunday, February 17, 2013

Di Jalur Lambat dan Jalur Cepat

Rame-rame di wisuda kawan (dok. Eko)
Ketika dulu aku sampai ke Amerika untuk belajar di NDSU, yang terjadi di dalam pikiranku adalah totally blank. Ini terjadi karena segala apa yang aku lihat pada moment itu tak ada referensinya sama sekali. Mungkin aku sudah banyak melihat gambar-gambar tentang negara adidaya ini, tapi secara kasat mata, itu pengalamanku pertama kali.

Dua puluh tahun lebih hidup di negara berkembang, mataku rupanya syok melihat negara maju. Pikiranku tak bisa mencerna informasi yang masuk lewat indera-inderaku. Segalanya baru: udara baru, suasana baru, orang-orang baru, bahasa baru, dan bau dunia yang baru, dunia maju.

Minggu-minggu awal, aku merasa bahwa aku tak mungkin bisa beradaptasi di dunia bernama Amerika ini. Rasanya seperti jatuh ke dunia lain yang membahayakan pribadi. Maka minggu-minggu awal adalah minggu-minggu paling menyedihkan! Sepertinya aku ingin protes ke program Global UGRAD yang membawaku ke sana.

Tapi sejalan dengan perjalanan waktu, rupaya dunia ini nikmat sekali ditinggali! Dunia maju adalah dunia dimana hampir semuanya mudah dan menyenangkan.

Jalan-jalan di dunia maju, setidaknya di Fargo, North Dakota, mudah dilintasi karena memang konstruksinya dibangun sungguh-sungguh. Pengguna jalannnya juga tertib. Aturan-aturan dibaca mereka pada tahap kesadaran akan keselamatan dan keuntungan baik bagi dirinya maupun orang lain.

Orang-orang di dunia maju hidup dengan kepedulian lingkungan pada tingkat yang cukup tinggi. Baik itu dipaksakan oleh pemerintah atau keinginan sendiri, kepedulian ini menciptakan pengelolaan lingkungan yang bersih. Rumput hijau menghampar dan terpotong rapi di halaman-halaman rumah dan tepi-tepi jalan. Sampah-sampah dipisah-pisahi rapi menurut jenisnya.

Polusi tiap waktu diteliti sehingga udara dikelola kebersihannya. Lega sekali bernapas di dunia maju ini, kecuali kalau musim dingin mulai masuk waktunya.

Nah, soal musim ini, menawan sekali dunia ini! Empat musim berganti-ganti setiap tahunnya. Warna dunia seakan berganti-ganti mulai dari super hijau, super merah, dan super putih. Musim semi, panas, gugur, dingin silih berganti.

Tinggal di negara maju ini, rupanya aku akhirnya menyimpan rasa bahwa aku harus tinggal di sini. Kalau perlu hingga mati di sini. Aku merasa nyaman sekali di sini.

Ketika aku pulang ke Tanah Air, jujur saja dan sudah tentu berat sekali rasanya. Mataku kembali syok karena rasanya seperti diseret ke beberapa abad ke belakang. Rupanya negaraku beberapa abad terbelakang!

Rasanya mundur ke sejarah di mana teknologi belum ditemukan. Manusia-manusia yang tak taat hukum. Lalu lintas yang seperti benang ruwet karena penuh manusia tak tahan emosinya. Juga lingkungan yang terbengkalai karena mereka tak tahu kelak punya generasi lanjut yang kena batunya.

Susah rupanya meninggalkan kenyamanan hidup di dunia maju sana. Oh Amerika!

Tapi begini, suatu kali aku diminta oleh beberapa pimpinan kampusku, Pak Anies dan Pak Wija, untuk bertemu mereka barang sejenak. Aku penuhilah itu semua.

Mereka menyelamatiku. Lagipula, mereka lulusan negeri Paman Sam itu pula. Mereka katakan pengalamanku adalah penting. Tentu banyak hal yang telah aku alami dan pelajari di sana. Bukan hal yang mudah bisa sampai ke sana, datang ke sebuah dunia yang kehidupannya seperti beberapa abad jauh melampaui negeri sendiri.

“Rasanya memang seolah-olah salah, untuk memilih pulang meninggalkan kemapanan di sana. Berat. Setelah biasa berlalu lintas rapi, sekarang ruwet lagi. Setelah bersosialisasi dengan baik dengan orang lokal, sekarang harus tak begitu akur lagi. Tapi kalau kau mau lihat lebih dalam, apa yang kau mau lakukan di sana? Semua sudah mapan di sana,” kira-kira pesan Pak Wija, “Di Indonesia ini, lebih banyak hal dan bidang yang membutuhkan pengetahuanmu. Jadikan negara maju itu sebuah model untuk jadi tujuan pembangunan negeri ini.”

Dari sini, aku mulai berpikir. Lalu aku bertemu dengan Pak Anies. Ngomong-ngomong, Pak Anies adalah rector kampusku, dan Pak Wija adalah deputinya. Di kampus, sudah biasa mahasiswa audiensi langsung dengan mereka secara peribadi. Aku merasa beruntung belajar di kampus ini. Bahkan, mau bertemu, bisa janjian lewat SMS.

“Kau sudah rasakan bagaimana world class education bukan? Nah, ketika pulang, kau ini seperti masuk kembali ke jalur lambat. Dari jalur cepat, kau sudah rasakan bagaimana melaju pesat, lalu menepi kembali ke jalur lambat. Apa yang perlu kau lakukan? Jangan melaju cepat. Ikuti arus saja dulu. Kalau kau cepat, yang lecet siapa? Kau juga lecet, orang sekitarmu juga lecet. Yang perlu dilakukan adalah kau replikasi ilmu pengetahuan dari sana. Sambungkan pengetahuan dan pengalamanmu pada yang lain. Lewat blog lewat diskusi,” kira-kira itu pesan Pak Anies.

Dari waktu itu, aku mulai sadari bahwa adalah natural kalau aku yang baru melaju lesat di jalur cepat akan menderita ketika harus kembali ke jalur lambat. Tapi, bukannya jalur lambat ini permulaanku semuanya?

Akhirnya, aku menertawakan diri sendiri kalau jalur yang melesat-lesat, yang telah melaju beberapa abad ke arah depan itu kupikir adalah milikku. Bagaimana mengubah jalur lambat ini menjadi jalur cepat, itu kira-kira yang menjadi fokusku kali ini.

Aku tak menyesal pernah ke negeri maju sana dan merasa jatuh cinta padanya. Tapi di negeri sendirilah tetap menjadi tempat pulang. Di sini banyak yang perlu dijalani, dibenahi. Mungkin tak akan mungkin selamanya negeri jalur lambat ini bisa jadi jalur cepat. Tapi ini mungkin bisa menjadi jalur lambat yang aman dan nyaman.

Mengagumi dan hidup di dunia manju memang natural: nyaman dan menyenangkan. Tapi kukira memang jauh lebih banyak yang bisa dilakukan di negeri sendiri. Mungkin kelak aku akan kembali ke jalur cepat itu. Untuk belajar lebih jauh, soal banyak hal.

Tapi hidup, berkarya, dan berdampak negeri sendiri rasanya tetap paling menyenangkan, setidaknya kalau kesenangan tidak kau ukur dengan setiap kenyamanan, kemudahan dan kekayaan seperti yang mudah-mudah kau dapatkan di negeri maju sana. Mana yang kau suka? Tak ada yang memaksa sebenarnya.

8 comments:

  1. SEbuah pemahaman luar biasa dari perjalanan hidup yg kereen, apa kbr Jazz? lama gak singgah disini...smg slalu sehat :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kabar baik Irma! Amin2! Terima kasih buat doanya. Kau juga.

      Delete
  2. jadi penasaran mencicipi jalur cepat..:)

    ReplyDelete
  3. Sepertinya menyenangkan ya Cid sesekali mencicipi tinggal di jalur cepat :)

    ReplyDelete
  4. Muhamad ircham RozaqiFebruary 25, 2013 at 5:43 PM

    Pengalaman luar biasa sid untuk ditularkan ke negri kita..termasuk aku...ditulari poO..hahaha

    ReplyDelete